HOME _.:._ BLOG _.:._ BUSINESS _.:._ PHOTO _.:._ SEARCH

Wednesday, June 24, 2009

Besar, Peluang Pasar Karbon Sukarela

Sudah hampir dua tahun lamanya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malinau, Kalimantan Timur (Kaltim) mendeklarasikan kawasan hutan lindung seluas 325.041,6 hektare (ha) untuk pemanfaatan jasa lingkungan lewat Perdagangan Karbon Sukarela atau Voluntary Carbon Market (VCM). Sayangnya, sampai detik ini aturan mainnya belum ada.

Hal inilah yang dikeluhkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, Gerard A. Silooy. “Pedoman, standar dan kriteria perdagangan karbon sukarela merupakan kewenangan pemerintah pusat. Jadi, kami di daerah hanya bisa menunggu sambil menyiapkan diri,” ujar Gerard pada Agro Indonesia di standnya yang bergabung dalam Indogreen Forestry Expo 2009 di Jakarta, pekan lalu.

September 2007, Pemkab Malinau meneken nota kesepahaman dengan Global Eco Rescue (GER) Ltd. dan Borneo Tropical Rainforest Foundation (BTRF) untuk melestarikan tiga hutan lindung: Pasilan Tabah Sungai Sembakung, Long Ketrok dan Gunung Laung-Gunung Belayan lewat skema VCM.

Bupati Malinau periode 2006-2011, Marthin Billa menyadari, Kabupaten Malinau miskin sektor jasa dan perdagangan ketimbang daerah lainnya. Namun, dari sisi keanekaragaman hayati, Malinau sangat kaya karena wilayah mereka bagian dari Borneo’s vast tropical wilderness. Potensi ini menjadi modal untuk inovasi tanpa membahayakan lingkungan dan mengorbankan kepentingan masyarakatnya yang bergantung pada hutan.

Martin yakin langkah ini akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi anak cucu masyarakat Malinau. VCM akan menghasilkan pendapatan dari potensi tiga hutan lindung tersebut.

Contoh KPWN
Sementara di tempat terpisah, Pakar Managemen Kehutanan & Biometriks Institut Pertanian Bogor, Teddy Rusolono menilai, pada dasarnya skema VCM hanya karena tanggung jawab pada lingkungan saja. Saat ini pasarnya pun masih kecil. Paling negara-negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Amerika, misalnya.

“Namun, peluang Perdagangan Karbon Sukarela besar. Karena ke depan, trennya akan berubah,” prediksi Teddy dalam seminar Menggalang Inisiatif Perdagangan Karbon Sukarela (VCM) di Indonesia pekan lalu di Departemen Kehutanan.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan M.S. Kaban juga menilai VCM salah satu skema perdagangan karbon yang bisa menjadi alternatif baru bagi Indonesia. Skema ini memberikan keuntungan, di mana kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon diperhitungkan. Kawasan hutan yang masih utuh, contohnya. Berbagai pihak yang berkepentingan dimungkinkan ikut serta dalam skema VCM. Termasuk kelompok masyarakat yang selama ini tinggal di kawasan hutan dan ikut menjaganya.

Saat ini, perhitungan jumlah serapan karbon sudah banyak dilakukan berbagai pihak. Menurut FAO (2006), hutan dan tanah di bawahnya di seluruh dunia menyimpan karbon lebih dari 1 triliun ton karbon. Angka tersebut dua kali lipat julmah karbon di atmosfer. Sedangkan dalam satu tahun, kerusakan hutan telah menambah hampir 6 miliar ton karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Berbagai macam cara dan pendekatan, pelaku berupaya menyelamatkan bumi dari bahaya pemanasan global. Salah satu yang menarik dari upaya penyelamatan ini adalah perdagangan karbon.

Karena saat ini belum banyak unit organisasi yang mengaplikasikan perdagangan karbon, Kaban menghimbau untuk mencontoh apa yang dilakukan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN). Unit usaha ini telah melakukan inisiasi dalam mengaplikasikan perdagangan karbon di lapangan. Dengan melakukan investasi penanaman Jati Unggul Nusantara (JUN) di berbagai wilayah di Indonesia, selain dapat menjual karbonnya juga meningkatkan penghasilan masyarakat sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan yang ada.

Menguntungkan
Itu sebabnya, Kaban yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini berharap Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) segera mengembangkan standar serifikasi karbon yang bersifat sukarela. “Sehingga pelaksanaan perdagangan karbon sukarela ini dapat memberikan hasil yang maksimal.”

Selain VCM, Kaban juga berharap banyak pada Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Country (REDD). Skema ini akan diputuskan pada Conference of The Parties (COP) 15 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (United Nations Freamework Convention on Climate Change/UNFCCC) Desember 2009 nanti di Copenhagen, Denmark. Menurutnya, REDD lebih memungkinkan Indonesia sebagai penyedia hutan penyerap karbon untuk memperoleh insentif dari negar-negara maju penghasil emisi.

“Secara ekonomi, skema REDD sangat menguntungkan karena dapat memberikan suntikan dana sebesar 3,75 miliar dolar AS atau Rp33,75 triliun/tahun dari negara-negara maju,” hitung Kaban.

REDD merupakan isu kompleks. Fungsi sumber daya hutan bagi setiap negara menuntut adanya pendekatan kebijakan internasional yang benar-benar mendukung negara berkembang untuk mampu menekan deforestasi dan degradasi hutan tanpa mengorbankan pembangunan nasionalnya.

Indonesia pun dituntut untuk mempertahankan keutuhan hutannya lewat pencegahan kerusakan hutan. Termasuk mengatasi perambahan, penebangan liar, kebakaran dan pembukaan hutan yang tidak terencana. Upaya ini menuntut kerjasama yang baik dan harmonis serta koordinasi yang intensif para pihak baik di pusat maupun daerah.

No comments:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.